Bertanya perihal obyek yang penting-penting saja -kepada ahlinya- termasuk seni dalam melontarkan pertanyaan.
Pertanyaan yang memiliki urgensilah yang seharusnya menjadi perhatian orang-orang yang bertanya kepada Ulama. Bukan asal bertanya yang terkadang tentang perkara yang sangat sepele, hanya sekedar untuk menguji ustadz, atau menunjukkan keakuannya.
Fakta menunjukkan bahwa Rasûlullâh ﷺ memuji pertanyaan-pertanyaan yang baik dan menyanjungnya, serta mengungkapkan rasa kegembiraannya terhadap penanya. Beberapa riwayat berikut membenarkan keterangan di atas.
Nabi ﷺ pernah menyanjung Sahabat Mu’âdz bin Jabal رضي الله عنه dikarenakan pertanyaan pentingnya yang berbunyi, “Wahai Rasûlullâh ﷺ , beritahukan kepadaku amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga?”.
Sebelum menjawab beliau memujinya dengan bersabda:
بَخٍ بَخٍ لَقَدْ سَأَلْتَ عَنْ عَظِيْمٍ
Bakh-bakh, sungguh engkau telah menanyakan perkara yang besar”.
Bakh merupakan kalimat ungkapan pujian dan persetujuan akan sesuatu. Di sini, diulang sampai dua kali guna menguatkan pujian.
“Sesungguhnya itu mudah bagi orang yang Allâh mudahkan untuk melakukannya. Kerjakanlah sholat wajib dan bayarlah zakat,” kata Rasûlullâh ﷺ meneruskan perkataannya. 1
Sementara Imam Muslim رحمه الله meriwayatkan dari Abu Ayyub رضي الله عنه , ada seorang Arab Badui mencegat jalan Rasûlullâh saat beliau dalam perjalanan. Lelaki itu kemudian memegangi kendali onta beliau seraya berkata, “Wahai Rasûlullâh, beritahukan kepadaku (amalan) yang mendekatkan diriku kepada surga dan menjauhkan diriku dari neraka?”.
Nabi ﷺ terdiam. Kemudian melihat kepada para Sahabat seraya bersabda: “Sungguh ia (si penanya) telah mendapatkan taufik atau (mendapatkan hidayah)”.
Nabi ﷺ berkata (untuk menarik perhatian Sahabat lain), “Apa yang kamu katakan (tadi)?”
Lelaki itu pun mengulangi ucapannya.
Selanjutnya Nabi ﷺ menjawab, “Engkau beribadah hanya kepada Allâh, tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, mendirikan sholat, membayar zakat, menyambung silaturahmi”. Dan akhirnya, beliau berkata, “(Sudah), lepaskan (kendali) ontanya”.
Dalam contoh yang lain, berdasarkan riwayat Imam al-Bukhâri t , Abu Hurairah رضي الله عنه melontarkan pertanyaan kepada Rasûlullâh ﷺ yang berbunyi: “Siapakah orang yang paling berbahagia mendapatkan syafaatmu pada hari Kiamat (kelak)?”
Sebelum menjawab, Rasûlullâh ﷺ memuji penanya dengan berkata, “Sungguh wahai Abu Hurairah, aku telah yakin tidak ada orang yang menanyakan ini kepadaku lebih dahulu daripada dirimu, lantaran aku melihat semangatmu dalam mendapatkan hadits. Orang yang paling berbahagia mendapatkan syafaatku pada hari Kiamat ialah orang yang berkata Lâ Ilâha Illallâh dengan ikhlas dari hati atau jiwanya”. (HR. al-Bukhâri no. 99)
Tentu, pujian terhadap penanya (Sahabat Abu Hurairah) hasil dari pengamatan kontinyu beliau terhadap Sahabat ini yang bersemangat terhadap sabda-sabda Nabi ﷺ . Rasulullah membuat gembira Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits ini melalui dua jalan; pertama dengan menyebutkan sebab keyakinannya kalau Abu Hurairahlah yang akan menanyakannya pertama kali yaitu semangatnya dalam menerima hadits Nabi ﷺ . Dua, Nabi ﷺ menyebut namanya langsung sebelum menjawab pertanyaannya. Tentu, ia akan sangat bersuka-cita lantaran yang menyebut namanya adalah insan kecintaan Rabbul a’alamin. Ringkasnya, Nabi ﷺ menyukai pertanyaan-pertanyaan yang bagus dan memujinya. Jelas, ini pelajaran penting bagi umat saat mengajarkan ilmu, maupun saat menempuh perjalanan mencari ilmu. Wallâhu a’lam.
Diadaptasi dari an-Nabiyyul Karîmi Mu’alliman, DR. Fadhl Ilâhi hlm. 141-147
Footnote:
1 HR. Abu Dâwûd ath-Thayâlisi no. 561 dengan derajat hasan dengan seluruh jalur periwayatannya.
Baituna edisi 07 Thn. XV Dzulhijjah 1432 – Novembver 2011